Sabtu, 15 Juni 2024

Kajian Rutin Tafsir Jalalain || Surat Al-Baqoroh Ayat 226&227 || Masa Idah

 

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (٢٢٦) (وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧)).

226. Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

{ لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ } أَيْ يَحْلِفُونَ أَنْ لَا يُجَامِعُوهُنَّ { تَرَبُّصُ } انْتِظَارُ { أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا } رَجَعُوا فِيهَا أَوْ بَعْدَهَا عَنِ الْيَمِينِ إِلَى الْوَطْءِ { فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ } لَهُمْ مَا أَتَوْهُ مِنْ ضَرَرِ الْمَرْأَةِ بِالْحَلِفِ { رَحِيمٌ } بِهِ

 

226. (Bagi orang-orang yang melakukan ila` terhadap istri-istri mereka), artinya bersumpah tidak akan mencampuri istri-istri mereka, (diberi tangguh) atau menunggu (selama empat bulan. Jika mereka kembali), maksudnya rujuk dari sumpah untuk mencampuri, baik waktu itu atau sesudahnya, (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) kepada mereka yang telah membuat istri-istrinya menderita disebabkan sumpahnya, (lagi Maha Penyayang) terhadap mereka.

 

 

Note:

1.    Tahlili: Ayat ini berhubungan dengan seseorang yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya, seperti, "Demi Allah, aku tidak akan bersetubuh dengan engkau lagi." Sumpah seperti ini disebut ila'. Dalam hal ini, istri tentu akan tersiksa dan menderita, karena tidak digauli dan tidak pula dicerai (ditalak). Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab perbuatan semacam ini perbuatan zalim. Bila sudah dekat empat bulan lamanya sesudah bersumpah itu, suami harus mengambil keputusan apakah ia akan kembali bergaul sebagai suami-istri atau bercerai. Kalau suami mengambil keputusan kembali berbaik dengan istrinya, maka itulah yang lebih baik, tetapi dia harus membayar kafarat sumpah. Dia harus mengatur rumah tangganya kembali, mendidik anaknya dan tidak boleh diulangi lagi sumpah yang seperti itu. Tapi kalau dia bermaksud untuk menceraikan, maka ceraikanlah secara baik, jangan sampai istri itu teraniaya, sebab Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

2.    Wajiz: Bagi orang laki-laki yang meng-ila' istrinya, yaitu bersumpah tidak akan mencampuri istri, dan lantaran sumpah tersebut seorang istri menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan; dalam kondisi ini maka istri harus menunggu empat bulan sebagai batas atau tenggang waktu bagi istri untuk menerima keputusan suami, apakah rujuk dengan membayar kafarat sumpah atau cerai. Kemudian jika dalam masa empat bulan itu mereka kembali kepada istrinya dan hidup bersama sebagai suami-istri dan saling memaafkan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas kesalahan yang telah mereka perbuat, Maha Penyayang kepada hamba-hamba yang menyadari kesalahan mereka.

 

 

 

الإيلاءُ الحلفُ، فَإِذَا حلفَ الرَّجُلُ أَلَا يُجَامِعَ زَوْجَتَهُ مُدَّةً، فَلَا يَخْلُو: إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، أَوْ أَكْثَرَ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ، فَلَهُ أَنْ يَنْتَظِرَ انْقِضَاءَ الْمُدَّةِ ثُمَّ يُجَامِعَ امْرَأَتَهُ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَصْبِرَ، وَلَيْسَ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالْفَيْئَةِ (٢) فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ، وَهَذَا كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ (٣) وَعِشْرُونَ (٤) وَلَهُمَا عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ نَحْوُهُ (٥).

 

“al i’laa’” berarti sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri agar bersabar, dan tidak berhak menuntutnya untuk ruju’ pada masa itu. Demikian itulah yang telah ditegaskan dalam Shahihain (al-Bukhari danMuslim), dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pernah meng-ilaa’ (bersumpah untuk tidak mencampuri) isterinya selama satu bulan. Kemudian beliau turun (dari biliknya) pada hari kedua puluh sembilan. Dan beliau bersabda, “Satu bulan itu dua puluh sembilan hari.” Hal yang sama juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khaththab ra. mengenai hal yang sama.

 

 

 

فَأَمَّا إِنْ زَادَتِ الْمُدَّةُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَلِلزَّوْجَةِ مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ عِنْدَ انْقِضَاءِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ: إِمَّا أَنْ يُفِيءَ - أَيْ: يُجَامِعَ - وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ، فَيُجْبِرَهُ الْحَاكِمُ عَلَى هَذَا أَوْ هَذَا لِئَلَّا يَضُرَّ بِهَا.

 

Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang isteri boleh menuntut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan atau menceraikannya. Dan untuk itu, hakim boleh memaksa suami. Hal ini agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi isterinya tersebut.

 

 

 

وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: (لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ) أَيْ: يَحْلِفُونَ عَلَى تَرْكِ الْجِمَاعِ مِنْ نِسَائِهِمْ، فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْإِيلَاءَ يَخْتَصُّ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ الْإِمَاءِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ الْجُمْهُورِ.

 

Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: lil ladziina yu’luuna min nisaa-iHim (“Kepada orang-orang yang mengilaa’ isteri-isterinya.”) Artinya, bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya. Ini menunjukkan bahwa ilaa’ itu hanya dikhususkan terhadap isteri bukan hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi pendapat jumhur ulama.

 

 

 

(تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ) أَيْ: يَنْتَظِرُ الزَّوْجُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ حِينَ الْحَلْفِ، ثُمَّ يُوَقَّفُ وَيُطَالَبُ بِالْفَيْئَةِ (٦) أَوِ الطَّلَاقِ.

 

Firman-Nya: tarabbushu arba’ati asyHurin (“Diberi tangguh empat bulan.”) Maksudnya, si suami harus menunggu selama empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan, setelah itu ia dituntut untuk mencampuri atau menceraikan isteri-nya tersebut.

 

 

 

وَلِهَذَا قَالَ: (فَإِنْ فَاءُوا) أَيْ: رَجَعُوا إِلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ، وَهُوَ كِنَايَةٌ عَنِ الْجِمَاعِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمَسْرُوقٌ، وَالشَّعْبِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، وَمِنْهُمْ ابْنُ جَرِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ. (فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ) أَيْ: لِمَا سَلَفَ مِنَ التَّقْصِيرِ فِي حَقِّهِنَّ بِسَبَبِ الْيَمِينِ.

 

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa in faa-uu (“Kemudian jika mereka kembali.”) Artinya, jika mereka kembali seperti semula. “Kembali” di sini merupakan kiasan dari jima’. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Masruq, asy-Sya’abi, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya, di antaranya adalah Ibnu Jarir rahimahullahu. Fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Atas pengabaian suami terhadap hak isterinya disebabkan oleh sumpah.

 

 

 

وَقَوْلُهُ: (فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ) فِيهِ دَلَالَةٌ لِأَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ - وَهُوَ الْقَدِيمُ عَنْ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ الْمُولِيَ (٧) إِذَا فَاءَ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ (٨) أَنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ.

 

Firman-Nya: fa in faa-uu fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Kemudian jika mereka kembali [kepada istrinya], maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Menurut salah satu dari beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat lama dari asy-Syafi’i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang yang meng-ilaa’ isterinya kembali setelah empat bulan, maka tiada kafarat (denda) baginya.

 

 

 

وَيَعْتَضِدُ بِمَا تَقَدَّمَ فِي الْآيَةِ الَّتِي قَبْلَهَا، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرَكَهَا كَفَّارَتُهَا (٩)، كَمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ (١٠).

 

Dan hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari kakeknya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud.

 

 

 

وَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ وَهُوَ الْجَدِيدُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةَ لِعُمُومِ وُجُوبِ التَّكْفِيرِ عَلَى كُلِّ حَالِفٍ، كَمَا تَقَدَّمَ أَيْضًا فِي الْأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

 

Sedangkan pendapat baru dari madzhab Imam Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat berdasarkan pada universalitas kewajiban membayar kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa hadits shahih sebelumnya. Wallahu a’lam.

 

 

 

وَقَدْ ذَكَرَ الْفُقَهَاءُ وَغَيْرُهُمْ - فِي مُنَاسَبَةِ تَأْجِيلِ (١١) الْمُولِي بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ - الْأَثَرَ الَّذِي رَوَاهُ الْإِمَامُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْمُوَطَّأِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قَالَ: خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ (١٢) اللَّيْلِ فَسَمِعَ امْرَأَةً تَقُولُ:

 

Berkenaan dengan masa penangguhan selama empat bulan, para fuqaha dan juga yang lainnya menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas rahimahullahu, dalam kitab al-Muwattha’, dari Abdullah bin Dinar, ia menceritakan, Umar bin Khatthab ra. pernah pergi pada malam hari, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan:

 

 

 

تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ

 

Malam begitu panjang dan hitam kelam sekelilingnya,

 

 

 

وَأَرَّقَنِي أَلَّا خَلِيلَ أُلَاعِبُهُ

 

aku tak dapat tidur tiada kekasih yang berkencan denganku.

 

 

 

فَوَ اللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ أَنِّي أُرَاقِبُهُ

 

Demi Allah, jika bukan karena Allah yang selalu mengawasiku,

 

 

 

لَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهُ.

 

niscaya sisi-sisi pelaminan ini telah bergoyang.