Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2024

Kajian Rutin Tafsir Jalalain || Surat Al-Baqoroh Ayat 226&227 || Masa Idah

 

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (٢٢٦) (وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧)).

226. Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

{ لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ } أَيْ يَحْلِفُونَ أَنْ لَا يُجَامِعُوهُنَّ { تَرَبُّصُ } انْتِظَارُ { أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا } رَجَعُوا فِيهَا أَوْ بَعْدَهَا عَنِ الْيَمِينِ إِلَى الْوَطْءِ { فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ } لَهُمْ مَا أَتَوْهُ مِنْ ضَرَرِ الْمَرْأَةِ بِالْحَلِفِ { رَحِيمٌ } بِهِ

 

226. (Bagi orang-orang yang melakukan ila` terhadap istri-istri mereka), artinya bersumpah tidak akan mencampuri istri-istri mereka, (diberi tangguh) atau menunggu (selama empat bulan. Jika mereka kembali), maksudnya rujuk dari sumpah untuk mencampuri, baik waktu itu atau sesudahnya, (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) kepada mereka yang telah membuat istri-istrinya menderita disebabkan sumpahnya, (lagi Maha Penyayang) terhadap mereka.

 

 

Note:

1.    Tahlili: Ayat ini berhubungan dengan seseorang yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya, seperti, "Demi Allah, aku tidak akan bersetubuh dengan engkau lagi." Sumpah seperti ini disebut ila'. Dalam hal ini, istri tentu akan tersiksa dan menderita, karena tidak digauli dan tidak pula dicerai (ditalak). Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab perbuatan semacam ini perbuatan zalim. Bila sudah dekat empat bulan lamanya sesudah bersumpah itu, suami harus mengambil keputusan apakah ia akan kembali bergaul sebagai suami-istri atau bercerai. Kalau suami mengambil keputusan kembali berbaik dengan istrinya, maka itulah yang lebih baik, tetapi dia harus membayar kafarat sumpah. Dia harus mengatur rumah tangganya kembali, mendidik anaknya dan tidak boleh diulangi lagi sumpah yang seperti itu. Tapi kalau dia bermaksud untuk menceraikan, maka ceraikanlah secara baik, jangan sampai istri itu teraniaya, sebab Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

2.    Wajiz: Bagi orang laki-laki yang meng-ila' istrinya, yaitu bersumpah tidak akan mencampuri istri, dan lantaran sumpah tersebut seorang istri menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan; dalam kondisi ini maka istri harus menunggu empat bulan sebagai batas atau tenggang waktu bagi istri untuk menerima keputusan suami, apakah rujuk dengan membayar kafarat sumpah atau cerai. Kemudian jika dalam masa empat bulan itu mereka kembali kepada istrinya dan hidup bersama sebagai suami-istri dan saling memaafkan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas kesalahan yang telah mereka perbuat, Maha Penyayang kepada hamba-hamba yang menyadari kesalahan mereka.

 

 

 

الإيلاءُ الحلفُ، فَإِذَا حلفَ الرَّجُلُ أَلَا يُجَامِعَ زَوْجَتَهُ مُدَّةً، فَلَا يَخْلُو: إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، أَوْ أَكْثَرَ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ، فَلَهُ أَنْ يَنْتَظِرَ انْقِضَاءَ الْمُدَّةِ ثُمَّ يُجَامِعَ امْرَأَتَهُ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَصْبِرَ، وَلَيْسَ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالْفَيْئَةِ (٢) فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ، وَهَذَا كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ (٣) وَعِشْرُونَ (٤) وَلَهُمَا عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ نَحْوُهُ (٥).

 

“al i’laa’” berarti sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri agar bersabar, dan tidak berhak menuntutnya untuk ruju’ pada masa itu. Demikian itulah yang telah ditegaskan dalam Shahihain (al-Bukhari danMuslim), dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pernah meng-ilaa’ (bersumpah untuk tidak mencampuri) isterinya selama satu bulan. Kemudian beliau turun (dari biliknya) pada hari kedua puluh sembilan. Dan beliau bersabda, “Satu bulan itu dua puluh sembilan hari.” Hal yang sama juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khaththab ra. mengenai hal yang sama.

 

 

 

فَأَمَّا إِنْ زَادَتِ الْمُدَّةُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَلِلزَّوْجَةِ مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ عِنْدَ انْقِضَاءِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ: إِمَّا أَنْ يُفِيءَ - أَيْ: يُجَامِعَ - وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ، فَيُجْبِرَهُ الْحَاكِمُ عَلَى هَذَا أَوْ هَذَا لِئَلَّا يَضُرَّ بِهَا.

 

Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang isteri boleh menuntut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan atau menceraikannya. Dan untuk itu, hakim boleh memaksa suami. Hal ini agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi isterinya tersebut.

 

 

 

وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: (لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ) أَيْ: يَحْلِفُونَ عَلَى تَرْكِ الْجِمَاعِ مِنْ نِسَائِهِمْ، فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْإِيلَاءَ يَخْتَصُّ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ الْإِمَاءِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ الْجُمْهُورِ.

 

Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: lil ladziina yu’luuna min nisaa-iHim (“Kepada orang-orang yang mengilaa’ isteri-isterinya.”) Artinya, bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya. Ini menunjukkan bahwa ilaa’ itu hanya dikhususkan terhadap isteri bukan hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi pendapat jumhur ulama.

 

 

 

(تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ) أَيْ: يَنْتَظِرُ الزَّوْجُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ حِينَ الْحَلْفِ، ثُمَّ يُوَقَّفُ وَيُطَالَبُ بِالْفَيْئَةِ (٦) أَوِ الطَّلَاقِ.

 

Firman-Nya: tarabbushu arba’ati asyHurin (“Diberi tangguh empat bulan.”) Maksudnya, si suami harus menunggu selama empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan, setelah itu ia dituntut untuk mencampuri atau menceraikan isteri-nya tersebut.

 

 

 

وَلِهَذَا قَالَ: (فَإِنْ فَاءُوا) أَيْ: رَجَعُوا إِلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ، وَهُوَ كِنَايَةٌ عَنِ الْجِمَاعِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمَسْرُوقٌ، وَالشَّعْبِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، وَمِنْهُمْ ابْنُ جَرِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ. (فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ) أَيْ: لِمَا سَلَفَ مِنَ التَّقْصِيرِ فِي حَقِّهِنَّ بِسَبَبِ الْيَمِينِ.

 

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa in faa-uu (“Kemudian jika mereka kembali.”) Artinya, jika mereka kembali seperti semula. “Kembali” di sini merupakan kiasan dari jima’. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Masruq, asy-Sya’abi, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya, di antaranya adalah Ibnu Jarir rahimahullahu. Fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Atas pengabaian suami terhadap hak isterinya disebabkan oleh sumpah.

 

 

 

وَقَوْلُهُ: (فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ) فِيهِ دَلَالَةٌ لِأَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ - وَهُوَ الْقَدِيمُ عَنْ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ الْمُولِيَ (٧) إِذَا فَاءَ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ (٨) أَنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ.

 

Firman-Nya: fa in faa-uu fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Kemudian jika mereka kembali [kepada istrinya], maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Menurut salah satu dari beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat lama dari asy-Syafi’i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang yang meng-ilaa’ isterinya kembali setelah empat bulan, maka tiada kafarat (denda) baginya.

 

 

 

وَيَعْتَضِدُ بِمَا تَقَدَّمَ فِي الْآيَةِ الَّتِي قَبْلَهَا، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرَكَهَا كَفَّارَتُهَا (٩)، كَمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ (١٠).

 

Dan hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari kakeknya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud.

 

 

 

وَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ وَهُوَ الْجَدِيدُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةَ لِعُمُومِ وُجُوبِ التَّكْفِيرِ عَلَى كُلِّ حَالِفٍ، كَمَا تَقَدَّمَ أَيْضًا فِي الْأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

 

Sedangkan pendapat baru dari madzhab Imam Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat berdasarkan pada universalitas kewajiban membayar kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa hadits shahih sebelumnya. Wallahu a’lam.

 

 

 

وَقَدْ ذَكَرَ الْفُقَهَاءُ وَغَيْرُهُمْ - فِي مُنَاسَبَةِ تَأْجِيلِ (١١) الْمُولِي بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ - الْأَثَرَ الَّذِي رَوَاهُ الْإِمَامُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْمُوَطَّأِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قَالَ: خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ (١٢) اللَّيْلِ فَسَمِعَ امْرَأَةً تَقُولُ:

 

Berkenaan dengan masa penangguhan selama empat bulan, para fuqaha dan juga yang lainnya menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas rahimahullahu, dalam kitab al-Muwattha’, dari Abdullah bin Dinar, ia menceritakan, Umar bin Khatthab ra. pernah pergi pada malam hari, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan:

 

 

 

تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ

 

Malam begitu panjang dan hitam kelam sekelilingnya,

 

 

 

وَأَرَّقَنِي أَلَّا خَلِيلَ أُلَاعِبُهُ

 

aku tak dapat tidur tiada kekasih yang berkencan denganku.

 

 

 

فَوَ اللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ أَنِّي أُرَاقِبُهُ

 

Demi Allah, jika bukan karena Allah yang selalu mengawasiku,

 

 

 

لَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهُ.

 

niscaya sisi-sisi pelaminan ini telah bergoyang.

 

Senin, 10 Juni 2024

Kajian Rutin Tafsir Jalalain || Surat Al-Baqoroh Ayat 225 || Jangan Mudah bersumpah II

 

 

 

 

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Allah tidaklah menghukum kamu disebabkan sumpah kosong dalam sumpah-sumpahmu Tetapi Allah akan menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

 

 

{ لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ } الكَائِنِ { فِي أَيْمَانِكُمْ } وَهُوَ مَا يَسْبِقُ إِلَيْهِ اللِّسَانُ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ الحَلِفِ نَحْوَ وَاللَّهِ، وَبَلَى وَاللَّهِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ { وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ } أَي قَصَدَتْهُ مِنَ الأَيْمَانِ إِذَا حَنِثْتُمْ { وَاللَّهُ غَفُورٌ } لِمَا كَانَ مِنَ اللَّغْوِ { حَلِيمٌ } بِتَأْخِيرِ العُقُوبَةِ عَنْ مُسْتَحِقِّهَا.

 

225. (Allah tidaklah menghukum kamu disebabkan sumpah kosong), artinya yang tidak dimaksud (dalam sumpah-sumpahmu) yakni yang terucap dari mulut tanpa sengaja untuk bersumpah, misalnya, "Tidak, demi Allah!" Atau "Benar, demi Allah!" Maka ini tidak ada dosanya serta tidak wajib kafarat. (Tetapi Allah akan menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu), artinya kamu sadari bahwa itu sumpah yang tidak boleh dilanggar. (Dan Allah Maha Pengampun) terhadap hal-hal yang tidak disengaja (lagi Maha Penyantun) hingga sudi menangguhkan hukuman terhadap orang yang akan menjalaninya.

 

 

Note:

1. Tafsir Wajiz: Setelah menjelaskan larangan bersumpah untuk tidak berbuat baik, Allah pada ayat ini menjelaskan jenis sumpah lain. Allah tidak menghukum dengan memberi sanksi berupa kafarat terhadap kamu karena sumpahmu yang diucapkan dengan tidak kamu sengaja, yakni ucapan sumpah namun tidak ada maksud bersumpah, tetapi Dia menghukum kamu dengan memberi sanksi atau mengazab di akhirat karena niat yang terkandung dalam hatimu, yakni bila kamu bersumpah untuk meyakinkan orang lain. Allah Maha Pengampun atas sumpah yang telah kamu ucapkan, Maha Penyantun dengan tidak segera mengazab orang yang berbuat dosa agar mereka sadar dan bertobat.

 

 

 

2. Tafsir Tahlili: Ayat ini memperingatkan manusia agar berhati-hati mem-pergunakan nama Allah dalam bersumpah. Jangan berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk hal-hal yang tidak baik dan yang dilarang oleh agama, sebab nama Allah sangat mulia dan harus diagungkan. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa sebab turunnya ayat 224 ini, ialah ketika Abu Bakar bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa ia tidak akan membantu lagi seorang kerabatnya (an-Nur/24 :22) yang bernama Mistah yang turut menyiarkan kabar bohong menjelek-jelekkan nama Aisyah istri Rasulullah saw. Riwayat yang mencemarkan nama baik Aisyah oleh orang-orang munafik disebut hadisul-ifki (kabar bohong). Dalam ayat ini dilarang bersumpah untuk tidak berbuat baik atau tidak bertakwa atau tidak mengadakan islah di antara manusia. Kalau sumpah seperti itu sudah diucapkan, wajib dilanggar (dibatalkan), sebab sumpah tersebut tidak pada tempatnya, tetapi sesudah sumpah itu dilanggar, harus ditebus dengan membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang budak atau memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau kalau tak sanggup, berpuasa selama 3 hari. Allah selalu mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh setiap orang. Bersumpah yang hanya ucapan lidah saja tanpa sungguh-sungguh tidaklah akan dihukum Allah. Tapi sumpah yang keluar dari hati dan diucapkan oleh lidah akan dinilai sebagai sumpah.

 

 

 

 

 

3. Tafsir Ibnu Katsir:

وَقَوْلُهُ : ﴿ لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ ﴾ أى : لَا يُعَاقِبُكُمْ وَلَا يُلْزِمُكُمْ بِمَا صَدَرَ مِنْكُمْ مِنَ الأَيْمَانِ اللَّاغِيَةِ، وَهِيَ الَّتِي لَا يَقْصِدُهَا الحَالِفُ بَلْ تَجْرِي عَلَى لِسَانِهِ عَادَةً مِنْ غَيْرِ تَعْقِيدٍ وَلَا تَأْكِيدٍ كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ : « مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلْفِهِ وَاللَّات وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ »  .

 

Dan firman-Nya: laa yu-aakhidzukumullaaHa bil laghwi fii aimaanikum (“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan [untuk bersumpah]”). Artinya, Allah tidak akan menghukum dan tidak juga mengharuskan kalian untuk memenuhi sumpah keliru yang telah kalian ucapkan, sedangkan ia tidak bermaksud mengucapkannya, tetapi sumpah itu keluar dari mulutnya tanpa adanya keyakinan dan kesungguhan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam kitab ash-Shahih (Bukhari dan Muslim), dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah telah bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan menyebutkan nama Latta dan `Uzza, maka hendaklah ia mengucapkan: Laa Ilaaha illallaah (tidak ada Ilah yang berhak untuk diibadahi selain Allah).”

 

 

 

فَهَذَا قَالَهُ لِقَوْمٍ حَدِيثِي عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، قَدْ أَسْلَمُوا وَأَلْسِنَتُهُمْ قَدْ أَلِفَتْ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ الحَلِفِ بِاللَّاتِ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ، فَأُمِرُوا أَنْ يَتَلَفَّظُوا بِكَلِمَةِ الإِخْلَاصِ، كَمَا تَلَفَّظُوا بِتِلْكَ الكَلِمَةِ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ، لِتَكُونَ هَذِهِ بِهَذِهِ ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى : ﴿ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١٠) ﴾ كَمَا قَالَ فِي الآيَةِ الأُخْرَى فِي المَائِدَةِ : ﴿ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ ﴾ [المائدة : ٨٩] .

 

Hal ini disampaikan Rasulullah kepada suatu kaum yang baru saja lepas daripada masa jahiliyah, mereka telah memeluk Islam namun lidah mereka sudah terbiasa menyebutkan nama Latta dan ‘Uzza, tanpa adanya kesengajaan. Kemudian mereka diperintahkan untuk mengucapkan kalimat ikhlas), sebagaimana mereka telah mengucapkan kata-kata tersebut tanpa sengaja. Oleh karena itu Allah, berfirman: wa laakiy yu-aakhidzukum bimaa kasabat quluubukum (“Tetapi Allah menghukummu disebabkan [sumpahmu] yang sengaja [untuk bersumpah] oleh hatimu.”) Dan dalam surat yang lain Dia berfirman dengan menggunakan kalimat yang artinya: “Tetapi Dia menghukummu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. “(QS. Al-Maa-idah: 89).

 

 

 

قَالَ أَبُو دَاوُدَ : بَابُ لَغْوِ اليَمِينِ : حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ - يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ - حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ - يَعْنِي الصَّائِغَ - عَنْ عَطَاءِ : فِي اللَّغْوِ فِي اليَمِينِ ، قَالَ : قَالَتْ عَائِشَةُ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " هُوَ كَلَامُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ : كَلَّا وَاللَّهِ وَبَلَى وَاللَّهِ ".

 

Dalam bab Laghwul yamin (sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah), Imam Abu Dawud meriwayatkan, dari Atha’, bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Laghwul yamin adalah ucapan seseorang di dalam rumahnya, kalla wallaHi (tidak, demi Allah) dan balaa wallaHi (ya, demi Allah).”

 

 

 

ثُمَّ قَالَ أَبُو دَاوُدَ : رَوَاهُ دَاوُدُ بْنُ أَبِي الْفُرَاتِ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ الصَّائِغِ ، عَنْ عَطَاءِ ، عَنْ عَائِشَةَ مَوْقُوفًا . وَرَوَاهُ الزُّهْرِيُّ ، وَعَبْدُ الْمَلِكِ ، وَمَالِكُ بْنُ مَغْوَلٍ ، كُلُّهُمْ عَنْ عَطَاءِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، مَوْقُوفًا أَيْضًا .

 

Selanjutnya Abu Dawud mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Furat, dari Ibrahim ash-Sha’igh, dari Atha’, dari Aisyah sebagai hadits mauquf. Juga diriwayatkan az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik bin Maghul, semuanyadari Atha’, dari Aisyah radhiallahu ‘anha sebagai hadits mauquf.

 

 

 

وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ : أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ فِي قَوْلِهِ : ﴿ لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ ﴾ قَالَتْ : هُمْ الْقَوْمُ يَتَدَارَؤُونَ فِي الْأَمْرِ ، فَيَقُولُ هَذَا : لَا وَاللَّهِ ، وَبَلَى وَاللَّهِ ، وَكَلَّا وَاللَّهِ يَتَدَارَؤُونَ فِي الْأَمْرِ : لَا تُعْقَدُ عَلَيْهِ قُلُوبُهُمْ .

 

Mengenai firman Allah Ta’ala: laa yu-aakhidzukumullaaHa bil laghwi fii aimaanikum; Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiallahu `anha, ia mengatakan; “Mereka itu adalah kaum yang saling membela diri dalam masalah yang diperselisihkan, lalu ia mengatakan: “Tidak, demi Allah, ya, demi Allah, dan benar-benar tidak, demi Allah.” Mereka saling membela diri dengan bersumpah tanpa adanya keyakinan dalam hati mereka.”

 

 

 

وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ " بَابُ الْيَمِينِ فِي الْغَضَبِ " : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْهَالِ ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ، حَدَّثَنَا حَبِيبُ الْمُعَلِّمُ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ : أَنَّ أَخَوَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ بَيْنَهُمَا مِيرَاثٌ ، فَسَأَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ الْقِسْمَةَ فَقَالَ : إِنْ عُدْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْقِسْمَةِ ، فَكُلُّ مَالِي فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ . فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : إِنَّ الْكَعْبَةَ غَنِيَّةٌ عَنْ مَالِكَ ، كَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَكَلِّمْ أَخَاكَ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " لَا يَمِينَ عَلَيْكَ ، وَلَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ الرَّحِمِ ، وَلَا فِيمَا لَا تَمْلِكُ ".

 

Dalam bab Yamin fil ghadhab (sumpah pada waktu marah), Abu Dawud meriwayatkan, dari Sa’id bin Musayyab, bahwasanya ada dua orang bersaudara dari kaum Anshar yang memiliki harta warisan. Salah seorang di antaranya meminta bagian dari harta warisan tersebut lalu saudaranya menjawab: “Jika engkau kembali menanyakan bagian warisan kepadaku, maka semua hartaku berada di pintu Ka’bah.” Maka Umar berkata kepadanya: “Sesungguhnya Ka’bah sama sekali tidak membutuhkan hartamu, bayarlah kafarat dari sumpahmu itu, dan berbicaralah dengan saudaramu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada sumpah bagimu, tidak juga nadzar dalam berbuat maksiat kepada Rabb swt, tidak juga dalam pemutusan hubungan silaturahmi, dan tidak juga pada apa yang tidak engkau miliki.”