Kamis, 10 Oktober 2024

Dua Sifat yang Buruk || Nashoihul Ibad

Dua Sifat Yang Buruk

“Dan dua sifat yang tidak ada sesuatu yang lebih buruk, yaitu lebih najis, dari keduanya: syirik kepada Allah dan merugikan kaum Muslimin, baik terhadap tubuh mereka maupun harta mereka. Sesungguhnya semua perintah Allah Ta'ala berujung pada dua hal: pengagungan kepada Allah Ta'ala dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya, seperti firman-Nya Ta'ala: 'Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat' (Al-Baqarah: 43), dan firman-Nya Ta'ala: 'Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu' (Luqman: 14).

Diriwayatkan dari Uwais al-Qarani bahwa dia berkata: 'Aku pernah melewati seorang rahib di salah satu perjalananku, maka aku bertanya, 'Wahai rahib, apa tingkatan pertama yang harus dilalui oleh seorang murid?' Dia menjawab, 'Mengembalikan hak-hak orang lain yang telah dizalimi dan menjaga diri dari beban tanggung jawab. Sesungguhnya amal seorang hamba tidak akan naik jika dia masih memiliki beban tanggung jawab atau kezhaliman terhadap orang lain.'”

 

)وَخَصْلَتَانِ لَا شَيْءَ أَخْبَثُ) أَيْ أَنْجَسُ (مِنْهُمَا: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالضُّرُّ لِلْمُسْلِمِينَ) فِي أَبْدَانِهِمْ أَوْ أَمْوَالِهِمْ فَإِنَّ جَمِيعَ أَوَامِرِ اللَّهِ تَعَالَى تَرْجِعُ إلَى خَصْلَتَيْنِ: التَّعْظِيمِ للهِ تَعَالَى وَالشَّفَقَةِ لِخَلْقِهِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: "أَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ" [الْبَقَرَةِ: ٤٣]، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: "اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ" [لُقْمَانَ: ١٤].

 

 رُوِيَ عَنْ أُوَيْس الْقَرْنِ أَنَّهُ قَالَ: "مَرَرْتُ فِي بَعْضِ سِيَاحَتِي بِرَاهِبٍ، فَقُلْتُ یا رَاهِب، مَا أَوَّلُ دَرَجَةٍ يَرْقَاهَا الْمُرِيدُ؟، قَالَ رَدُّ الْمَظَالِمِ وَخِفَّةُ الظَّهْرِ مِنَ التَّبِعَاتِ، فَإِنَّهُ لَا يَصْعَدُ لِلْعَبْدِ عَمَلٌ وَعَلَيْهِ تَبِعَةٌ أَوْ مَظْلَمَةٌ.

 

 

 

Pembahasan:

1. Pendahuluan

Teks di atas menyoroti pentingnya menjauhi dua sifat yang dianggap paling buruk, yaitu syirik kepada Allah dan merugikan sesama Muslim. Kedua sifat ini melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Dalam ajaran Islam, memuliakan Allah dan menjaga hak-hak makhluk-Nya merupakan pondasi dasar yang diungkapkan dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan Hadis. Selain itu, ada riwayat dari Uwais al-Qarani yang menekankan pentingnya mengembalikan hak orang yang terzalimi sebagai langkah awal seorang murid dalam mencapai kedekatan kepada Allah. Kajian ini akan membahas lebih dalam makna dan implikasi dari teks di atas, dengan merujuk pada sumber-sumber Islam.

 

١. المُقَدِّمَة.

النَّصُّ المَذكُورُ أَعْلَاهُ يُسَلِّطُ الضَّوْءَ عَلَى أَهَمِّيَةِ تَجَنُّبِ صِفَتَيْنِ تُعْتَبَرَانِ مِن أَسْوَإِ الصِّفَاتِ، وَهُمَا الشِّرْكُ بِاللهِ وَإِلْحَاقُ الضَّرَرِ بِالمُسْلِمِينَ. هَاتَانِ الصِّفَتَانِ تَنْتَهِكَانِ حُقُوقَ اللهِ وَحُقُوقَ الإِنسَانِ. فِي التَّعَالِيمِ الإِسْلَامِيَّةِ، تَعْظِيمُ اللهِ وَحِفْظُ حُقُوقِ خَلْقِهِ هُمَا الأَسَاسُ الَّذِي تُعَبِّرُ عَنْهُ الآيَاتُ القُرْآنِيَّةُ وَالأَحَادِيثُ النَّبَوِيَّةُ. بِالإِضَافَةِ إِلَى ذَلِكَ، هُنَاكَ رِوَايَةٌ عَنْ أُوَيْسِ القَرَنِيِّ تُؤَكِّدُ عَلَى أَهَمِّيَةِ إِعَادَةِ الحُقُوقِ إِلَى أَصْحَابِهَا كَخُطْوَةٍ أُولَى يَسْلُكُهَا المُرِيدُ فِي التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ. سَتَتَنَاوَلُ هَذِهِ الدِّرَاسَةُ مَعَانِي النَّصِّ المَذكُورِ وَأَبعَادِهِ بِالاِستِنَادِ إِلَى المَصَادِرِ الإِسْلَامِيَّةِ.

 

 

 

2. Kajian Pustaka.

Dalam studi ilmu keislaman, dua aspek yang disebutkan dalam teks, yaitu tauhid dan ihsan kepada sesama manusia, merupakan prinsip utama syariat. Tauhid atau pengesaan Allah adalah fondasi utama dalam akidah Islam, seperti yang dijelaskan dalam berbagai ayat, di antaranya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (QS. Al-Isra: 23). Ihsan kepada sesama manusia juga dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW: "Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi." (HR. Muslim).

 

Dari sisi adab dan akhlak, menjaga hak orang lain dan menghindari kezhaliman merupakan inti dari ajaran Islam. Imam Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin menguraikan pentingnya memulai perjalanan spiritual dengan memperbaiki hubungan sosial dan mengembalikan hak yang diambil dari orang lain.

 

٢. الدِّرَاسَاتُ السَّابِقَةُ

فِي دِرَاسَةِ العُلُومِ الإِسْلَامِيَّةِ، الجَانِبَانِ المَذكُورَانِ فِي النَّصِّ وَهُمَا التَّوحِيدُ وَالإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ، هُمَا مَبدَآنِ أَسَاسِيَّانِ فِي الشَّرِيعَةِ. التَّوحِيدُ أَو تَوحِيدُ اللهِ هُوَ الأَسَاسُ الرَّئِيسِيُّ فِي العَقِيدَةِ الإِسْلَامِيَّةِ، كَمَا وَرَدَ فِي العَدِيدِ مِنَ الآيَاتِ، مِنْهَا: "وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا" (الإِسرَاءُ: ٢٣). أَمَّا الإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ فَقَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ" (رَوَاهُ مُسلِمٌ).

وَمِن جِهَةِ الأَدَبِ وَالأَخْلَاقِ، فَإِنَّ حِفْظَ حُقُوقِ الآخَرِينَ وَتَجَنُّبَ الظُّلْمِ هُمَا مِن جَوهَرِ تَعَالِيمِ الإِسْلَامِ. وَقَدْ أَوضَحَ الإِمَامُ الغَزَالِيُّ فِي كِتَابِهِ إِحيَاءُ عُلُومِ الدِّينِ أَهَمِّيَةَ بَدْءِ الرِّحلَةِ الرُّوحِيَّةِ بِإِصْلَاحِ العَلاقَاتِ الاِجتِمَاعِيَّةِ وَإِعَادَةِ الحُقُوقِ المُغْتَصَبَةِ إِلَى أَصْحَابِهَا.

 

 

 

3. Pembahasan

 

a. Dua Sifat yang Terburuk: Syirik dan Merugikan Muslim Lainnya

Syirik, yang merupakan menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, adalah dosa terbesar dalam Islam yang tidak akan diampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat. Hal ini tercermin dalam ayat Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki." (QS. An-Nisa: 48). Syirik merusak prinsip tauhid dan merendahkan kemuliaan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta.

 

Selain syirik, tindakan yang merugikan kaum Muslimin, baik dari segi fisik maupun harta, juga merupakan dosa besar. Hal ini mencakup segala bentuk tindakan yang menyebabkan kerugian atau penderitaan, seperti pencurian, penipuan, dan perampasan hak orang lain. Dalam konteks sosial, Islam sangat menekankan pentingnya menjaga hak-hak orang lain dan menunaikan kewajiban sosial, seperti zakat dan sedekah. Oleh karena itu, perintah "Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat" (QS. Al-Baqarah: 43) menggabungkan ibadah kepada Allah dan ibadah sosial yang melibatkan hubungan antarmanusia.

 

٣. المُنَاقَشَةُ

أ. صِفَتَانِ مِن أَسْوَإِ الصِّفَاتِ: الشِّرْكُ وَإِلْحَاقُ الضَّرَرِ بِالمُسْلِمِينَ

الشِّرْكُ، وَهُوَ إِشْرَاكُ غَيْرِ اللهِ مَعَهُ فِي العِبَادَةِ، هُوَ أَعْظَمُ ذَنبٍ فِي الإِسْلَامِ وَلَنْ يُغفَرَ لِصَاحِبِهِ إِذَا مَاتَ وَلَمْ يَتُبْ. وَهَذَا مَا وَرَدَ فِي قَولِهِ تَعَالَى: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ" (النِّسَاءُ: ٤٨). الشِّرْكُ يُفْسِدُ مَبدَأَ التَّوحِيدِ وَيُهِينُ عَظَمَةَ اللهِ بِاعْتِبَارِهِ الخَالِقَ وَالمُدَبِّرَ الوَحِيدَ لِلكَونِ.

بِالإِضَافَةِ إِلَى الشِّرْكِ، فَإِنَّ الأَفعَالَ الَّتِي تَضُرُّ المُسْلِمِينَ، سَوَاءٌ كَانَتْ تَتَعَلَّقُ بِأَبدَانِهِمْ أَو أَموَالِهِمْ، تُعْتَبَرُ مِنَ الذُّنُوبِ الكَبِيرَةِ. وَيَشمَلُ ذَلِكَ جَمِيعَ الأَفعَالِ الَّتِي تُسَبِّبُ الضَّرَرَ أَو المُعَانَاةَ، مِثلَ السَّرِقَةِ أَو الاِحتِيَالِ أَو اغتِصَابِ حُقُوقِ الآخَرِينَ. فِي السِّيَاقِ الاِجتِمَاعِيِّ، يُؤَكِّدُ الإِسْلَامُ عَلَى أَهَمِّيَةِ حِفْظِ حُقُوقِ الآخَرِينَ وَأَدَاءِ الوَاجِبَاتِ الاِجتِمَاعِيَّةِ، مِثلَ الزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ. وَلِذَلِكَ جَاءَ الأَمرُ الإِلَهِيُّ: "وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ" (البَقَرَةُ: ٤٣)، حَيثُ يَجمَعُ بَينَ العِبَادَةِ لِلهِ وَالعِبَادَةِ الاِجتِمَاعِيَّةِ الَّتِي تَشمَلُ العَلَاقَاتِ بَينَ النَّاسِ.

 

 

 

b. Dua Prinsip Dasar: Pengagungan kepada Allah dan Kasih Sayang terhadap Sesama

Semua perintah Allah dalam agama Islam dapat disimpulkan ke dalam dua kategori: pengagungan kepada Allah dan kasih sayang kepada makhluk-Nya. Pengagungan kepada Allah diwujudkan melalui berbagai bentuk ibadah seperti shalat, puasa, dan dzikir, sedangkan kasih sayang terhadap sesama diwujudkan melalui perbuatan baik, seperti memberikan sedekah, menolong orang yang membutuhkan, dan menjaga hubungan baik dengan tetangga dan keluarga.

 

Ayat-ayat yang disampaikan dalam teks di atas, seperti "Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat" serta "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu" menegaskan kembali keseimbangan antara kewajiban vertikal (hubungan dengan Allah) dan kewajiban horizontal (hubungan dengan sesama manusia). Islam mengajarkan umatnya untuk tidak hanya fokus pada ibadah ritual, tetapi juga pada aspek sosial dan etika dalam berinteraksi dengan orang lain.

 

ب. مَبدَآنِ أَسَاسِيَّانِ: تَعظِيمُ اللهِ وَالشَّفَقَةُ عَلَى النَّاسِ

جَمِيعُ أَوَامِرِ اللهِ فِي الدِّينِ الإِسْلَامِيِّ يُمكِنُ تَلخِيصُهَا فِي مَبدَأَينِ: تَعظِيمُ اللهِ وَالشَّفَقَةُ عَلَى خَلْقِهِ. يَتَجَلَّى تَعظِيمُ اللهِ فِي مُختَلَفِ أَشكَالِ العِبَادَةِ مِثلَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالذِّكرِ، بَينَمَا يَتَجَلَّى الشَّفَقَةُ عَلَى النَّاسِ فِي أَعمَالِ الخَيرِ، مِثلَ إِعْطَاءِ الصَّدَقَةِ وَمُسَاعَدَةِ المُحتَاجِينَ وَالحِفَاظِ عَلَى العَلَاقَاتِ الطَّيِّبَةِ مَعَ الجِيرَانِ وَالأُسرَةِ.

 

الآيَاتُ الَّتِي وَرَدَتْ فِي النَّصِّ، مِثلَ: "وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ" وَ "اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ"، تُؤَكِّدُ عَلَى التَّوَازُنِ بَينَ الوَاجِبَاتِ العُمُودِيَّةِ (العَلَاقَةِ مَعَ اللهِ) وَالوَاجِبَاتِ الأُفُقِيَّةِ (العَلَاقَةِ مَعَ الآخَرِينَ). الإِسْلَامُ يُعَلِّمُ أَتبَاعَهُ أَنَّ العِبَادَةَ لَا تَقتَصِرُ عَلَى الشَّعَائِرِ، بَلْ تَشمَلُ أَيضًا الجَانِبَ الاِجتِمَاعِيَّ وَالأَخلَاقِيَّ فِي التَّعَامُلِ مَعَ الآخَرِينَ.

 

 

 

c. Pentingnya Mengembalikan Hak Orang Lain: Pelajaran dari Uwais al-Qarani

 

Riwayat Uwais al-Qarani tentang pentingnya mengembalikan hak orang yang dizalimi menjadi penekanan akhir dalam teks ini. Menurut Uwais, langkah pertama seorang murid spiritual dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah memperbaiki urusan duniawinya terlebih dahulu, yaitu dengan mengembalikan hak orang lain dan menjaga dirinya dari tanggung jawab yang belum terselesaikan. Prinsip ini sejalan dengan hadis Nabi yang mengatakan: "Barangsiapa yang pernah menzalimi saudaranya, baik dalam hal kehormatan atau hal lainnya, hendaklah ia memintakan maaf sebelum datang hari di mana tidak ada dinar maupun dirham." (HR. Bukhari).

 

ج. أَهَمِّيَةُ إِعَادَةِ الحُقُوقِ إِلَى أَصْحَابِهَا: دَرسٌ مِن أُوَيسِ القَرَنِيِّ

رِوَايَةُ أُوَيسِ القَرَنِيِّ عَن أَهَمِّيَةِ إِعَادَةِ الحُقُوقِ إِلَى أَصْحَابِهَا هِيَ تَأكِيدٌ آخَرُ فِي النَّصِّ. بِحَسَبِ أُوَيسٍ، الخُطوَةُ الأُولَى الَّتِي يَجِبُ أَنْ يَسلُكَهَا المُرِيدُ الرُّوحِيُّ فِي التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ هِيَ إِصْلَاحُ أُمُورِهِ الدُّنيَوِيَّةِ أَولًا، وَذَلِكَ بِإِعَادَةِ الحُقُوقِ إِلَى أَصْحَابِهَا وَتَجَنُّبِ أَيَّةِ مَسؤُولِيَّةٍ غَيرِ مَحسُومَةٍ. هَذَا المَبدَأُ يَتَّفِقُ مَعَ الحَدِيثِ النَّبَوِيِّ الَّذِي يَقُولُ: "مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ، مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ" )رَوَاهُ البُخَارِيُّ(

 

 

 

4. Kesimpulan, Saran, dan Harapan

 

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjauhi syirik dan menjaga hak-hak sesama manusia adalah dua hal fundamental dalam ajaran Islam. Semua perintah Allah berujung pada pengagungan kepada-Nya dan kasih sayang terhadap sesama makhluk. Mengembalikan hak-hak yang diambil dari orang lain juga merupakan bagian penting dari perjalanan spiritual seorang Muslim.

 

٤. الخَاتِمَةُ، التَّوصِيَاتُ، وَالأَمَلُ

الخَاتِمَةُ
مِنَ المُنَاقَشَةِ أَعْلَاهُ، نَستَخلِصُ أَنَّ تَجَنُّبَ الشِّرْكِ وَحِفْظَ حُقُوقِ الآخَرِينَ هُمَا مِنَ الأَسَاسِيَّاتِ فِي تَعَالِيمِ الإِسْلَامِ. جَمِيعُ أَوَامِرِ اللهِ تَتَّجِهُ نَحوَ تَعظِيمِهِ وَالشَّفَقَةِ عَلَى خَلْقِهِ. إِعَادَةُ الحُقُوقِ المُغتَصَبَةِ إِلَى أَصْحَابِهَا أَيضًا جُزءٌ مُهِمٌّ مِنَ الرِّحلَةِ الرُّوحِيَّةِ لِلمُسلِمِ.

 

 

 

Saran
Umat Muslim perlu terus memperkuat tauhid mereka dan memperhatikan hak-hak orang lain di sekitarnya. Beribadah kepada Allah tidak cukup jika tidak dibarengi dengan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Hendaknya setiap individu juga memeriksa kembali apakah ada hak orang lain yang pernah diambil atau belum diselesaikan.

 

التَّوصِيَاتُ
يَجِبُ عَلَى المُسلِمِينَ تَقوِيَةُ تَوحِيدِهِم وَمُرَاعَاةُ حُقُوقِ الآخَرِينَ مِن حَولِهِم. العِبَادَةُ لِلهِ وَحدَهُ لَا تَكفِي إِذَا لَمْ تَصحَبْهَا مُعَامَلَةٌ حَسَنَةٌ مَعَ الآخَرِينَ. يَنبَغِي لِكُلِّ فَردٍ أَنْ يَفحَصَ مَا إِذَا كَانَ قَدْ أَخَذَ حَقًّا مِن شَخصٍ آخَرَ أَوْ لَمْ يَنهِ مَسؤُولِيَّاتِهِ تِجاهَهُم.

 

 

 

Harapan
Semoga dengan memahami pentingnya menjaga hak Allah dan hak manusia, umat Muslim dapat hidup dalam harmoni dan kebahagiaan, serta mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

 

الأَمَلُ
نَأمُلُ أَنَّهُ بِفَهمِ أَهَمِّيَةِ حِفْظِ حُقُوقِ اللهِ وَحُقُوقِ الإِنسَانِ، يُمكِنُ لِلمُسلِمِينَ أَنْ يَعيشُوا فِي تَنَاغُمٍ وَسَعَادَةٍ، وَأَنْ يَنَالُوا رَحمَةَ اللهِ وَمَغفِرَتَهُ.

 

 

 

Berikut adalah kisah-kisah hikmah dari ulama besar seperti Al-Ghazali, Al-Jailani, dan Imam Asy-Syafi'i yang relevan dengan pembahasan di atas tentang pentingnya menghindari syirik dan menjaga hak-hak orang lain:

 

 

 

 

 

1. Kisah Imam Al-Ghazali: Pentingnya Mengembalikan Hak Orang Lain

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya mengembalikan hak orang lain sebagai bagian dari perjalanan spiritual menuju Allah. Suatu ketika, Al-Ghazali bercerita bahwa ketika beliau hendak memulai perjalanannya mencari ilmu, ia meminta nasihat kepada gurunya. Gurunya memberi nasihat yang sederhana namun sangat mendalam: "Sebelum engkau memulai perjalanan ini, pastikan dirimu sudah tidak lagi memiliki hak orang lain yang belum diselesaikan, baik berupa harta, kehormatan, atau tanggung jawab."

 

Nasihat ini mengingatkan bahwa tidak ada amal yang bisa diterima jika seseorang masih membawa beban kezaliman terhadap orang lain, karena Allah mengampuni dosa terhadap-Nya, namun tidak akan mengampuni dosa terhadap manusia kecuali dengan pengampunan dari orang tersebut.

 

Hikmah: Ini mengajarkan bahwa langkah pertama dalam perjalanan spiritual adalah memperbaiki hubungan sosial, mengembalikan hak-hak orang lain, dan membersihkan diri dari tanggung jawab yang belum terselesaikan.

 

١. قِصَّةُ الإِمَامِ الغَزَالِيِّ: أَهَمِّيَّةُ إِعَادَةِ الحُقُوقِ إِلَى أَصحَابِهَا

قَالَ الإِمَامُ الغَزَالِيُّ فِي كِتَابِهِ إِحيَاءُ عُلُومِ الدِّين: "عِندَمَا أَرَدتُ أَن أَبدَأَ رِحلَتِي فِي طَلَبِ العِلمِ، طَلَبتُ نَصِيحَةً مِن شَيخِي. فَقَالَ لِي نَصِيحَةً بَسِيطَةً وَلَكِن عَمِيقَةً: "قَبلَ أَن تَبدَأَ رِحلَتَكَ هَذِهِ، تَأَكَّد مِن أَنَّهُ لَا يَزَالُ لَدَيكَ حَقٌّ لِغَيرِكَ مِمَّا لَم يُؤَدَّ بَعدُ، سَوَاءً كَانَ ذَلِكَ فِي الأَموَالِ، أَو الكَرَامَةِ، أَو المَسؤُولِيَّةِ.""

تُشِيرُ هَذِهِ النَّصِيحَةُ إِلَى أَنَّهُ لَا يُمكِنُ أَيُّ عَمَلٍ أَن يُقبَلَ مَا لَم تَكُنْ عَلاقَةُ الإِنسَانِ مَعَ الآخَرِينَ نَقِيَّةً مِن أَيِّ ظُلْمٍ، فَإِنَّ اللَّهَ يَغفِرُ مَا كَانَ بَينَ العَبدِ وَبَينَهُ، وَلَكِنَّهُ لَا يَغفِرُ مَا كَانَ بَينَ العَبدِ وَبَينَ غَيرِهِ حَتَّى يَغفِرَ لَهُ صَاحِبُ الحَقِّ.

الحِكمَةُ: هَذِهِ القِصَّةُ تُعَلِّمُنَا أَنَّ الخُطوَةَ الأُولَى فِي الرِّحلَةِ الرُّوحِيَّةِ هِيَ إِصلَاحُ العَلَاقَاتِ الإِنسَانِيَّةِ، وَإِعَادَةُ الحُقُوقِ إِلَى أَصحَابِهَا، وَالتَّخَلُّصُ مِن كُلِّ مَسؤُولِيَّةٍ غَيرِ مَحسُومَةٍ.

 

 

 

2. Kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani: Meninggalkan Syirik dan Berbuat Ihsan kepada Sesama

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang sufi besar, dikenal dengan kisah-kisah yang menekankan tawakal penuh kepada Allah dan keikhlasan dalam beribadah. Dalam salah satu ceramahnya, beliau menceritakan seorang pria yang datang kepadanya meminta bimbingan spiritual. Pria ini mengaku telah beribadah selama bertahun-tahun namun merasa tidak mendapatkan ketenangan jiwa.

 

Syaikh Abdul Qadir bertanya kepada pria tersebut: "Apakah engkau yakin sepenuhnya hanya kepada Allah dalam segala urusanmu?" Pria itu terdiam, kemudian mengakui bahwa terkadang ia masih mengandalkan manusia atau kekuatan lain selain Allah dalam beberapa hal. Maka, Syaikh Abdul Qadir berkata: "Itulah syirik tersembunyi. Engkau harus benar-benar menanggalkan semua ketergantungan selain kepada Allah, karena syirik sekecil apapun adalah penghalang terbesar antara dirimu dan ketenangan dari Allah."

 

Hikmah: Ini mengajarkan pentingnya membersihkan tauhid dari segala bentuk syirik, baik yang terang-terangan maupun tersembunyi, serta bagaimana kebersihan hati hanya bisa diraih dengan keikhlasan penuh kepada Allah.

 

٢. قِصَّةُ الشَّيخِ عَبدِ القَادِرِ الجَيلَانِيِّ: تَرْكُ الشِّركِ وَالإِحسَانُ إِلَى الآخَرِينَ

الشَّيخُ عَبدُ القَادِرِ الجَيلَانِيُّ، شَيخُ التَّصَوُّفِ الكَبِير، يُعَرَفُ بِقَصَصِهِ الَّتِي تُؤَكِّدُ عَلَى التَّوَكُّلِ الكَامِلِ عَلَى اللَّهِ وَالإِخلَاصِ فِي العِبَادَةِ. فِي أَحَدِ مَجَالِسِهِ، أَتَاهُ رَجُلٌ يَطلُبُ الهِدَايَةَ الرُّوحِيَّةَ. قَالَ الرَّجُلُ: "قَد عَبَدتُ اللَّهَ سِنِينَ عَدِيدَةً وَلَكِن لَم أَجِد طُمَأنِينَةَ القَلبِ." فَسَأَلَهُ الشَّيخُ عَبدُ القَادِرِ: "هَل أَنتَ مُتَيَقِّنٌ بِأَنَّكَ تَعتمِدُ عَلَى اللَّهِ وَحدَهُ فِي كُلِّ أُمُورِكَ؟" فَتَوَقَّفَ الرَّجُلُ قَلِيلًا، ثُمَّ اعترَفَ بِأَنَّهُ أَحيَانًا كَانَ يَتَّكِلُ عَلَى النَّاسِ أَو قُوَّاتٍ أُخرَى إِلَى جَانِبِ اللَّهِ. فَقَالَ لَهُ الشَّيخُ عَبدُ القَادِرِ: "هَذَا هُوَ الشِّركُ الخَفِيُّ. يَجِبُ عَلَيكَ أَنْ تَتَخَلَّى عَن كُلِّ اتِّكَالٍ غَيرِ اللهِ، فَإِنَّ الشِّركَ، وَإِن كَانَ صَغِيرًا، هُوَ الحَاجِزُ الأَكبَرُ بَينَكَ وَبَينَ الرَّاحَةِ الَّتِي تَطلُبُهَا مِنَ اللهِ."

الحِكمَةُ: تَعلِّمُنَا هَذِهِ القِصَّةُ أَهَمِّيَّةَ تَطهِيرِ التَّوحِيدِ مِن كُلِّ أَشكَالِ الشِّركِ، سَوَاءً كَانَ ظَاهِرًا أَو خَفِيًّا، وَكَيفَ أَنَّ نَقَاءَ القَلبِ لَا يُمكِنُ إِلَّا بِالإِخلَاصِ الكَامِلِ لِلَّهِ.

 

 

 

3. Kisah Imam Asy-Syafi’i: Menjaga Hak dan Akhlak kepada Sesama

Imam Asy-Syafi'i dikenal dengan kelembutan akhlak dan perhatian terhadap hak-hak orang lain. Suatu ketika, Imam Asy-Syafi’i mendapat hadiah dari seseorang yang memujinya karena ilmunya yang tinggi. Namun, Asy-Syafi’i menolak hadiah tersebut dengan lembut dan berkata: "Jika engkau memberiku hadiah karena memuliakan ilmu, maka sebaiknya engkau juga memuliakan orang lain yang membutuhkan hadiah ini. Karena ilmu yang aku miliki hanyalah amanah, sedangkan hakmu terhadap sesama adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi."

 

Kisah ini menunjukkan betapa Imam Asy-Syafi’i sangat menghargai hak-hak orang lain, bahkan ketika beliau menerima pujian atau hadiah yang mungkin dianggap wajar, beliau lebih mementingkan agar hak-hak sesama tetap terjaga.

 

Hikmah: Imam Asy-Syafi’i mengajarkan bahwa menjaga hak orang lain lebih penting daripada menerima kemuliaan untuk diri sendiri, serta bagaimana seorang yang berilmu harus tetap rendah hati dan berkhidmat kepada sesama.

 

٣. قِصَّةُ الإِمَامِ الشَّافِعِيِّ: حِفظُ الحُقُوقِ وَحُسنُ الخُلُقِ فِي مُعَامَلَةِ الآخَرِينَ

عُرِفَ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بِلِينِ خُلُقِهِ وَحِرصِهِ عَلَى حُقُوقِ النَّاسِ. فِي أَحَدِ الأَيَّامِ، جَاءَهُ رَجُلٌ وَأَهدَى لَهُ هَدِيَّةً؛ لِأَنَّهُ أَعجَبَ بِعِلمِهِ الوَاسِعِ. وَلَكِنَّ الشَّافِعِيَّ رَفَضَ الهَدِيَّةَ بِلُطفٍ وَقَالَ: "إِذَا كُنتَ تُهْدِينِي لِتُكرِمَ العِلمَ، فَالأَولى أَنْ تُكرِمَ بِهَذِهِ الهَدِيَّةِ مَن يَحتَاجُهَا. فَإِنَّ العِلمَ لَيسَ مِلكِي، إِنَّمَا هُوَ أَمَانَةٌ، وَأَمَّا حَقُّكَ تُجَاهَ الآخَرِينَ فَهُوَ مَسؤُولِيَّةٌ لَابُدَّ مِن أَدَائِهَا."

تَبيِّنُ هَذِهِ القِصَّةُ كَيفَ كَانَ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ يَحرِصُ عَلَى حُقُوقِ الآخَرِينَ، حَتَّى فِي مَوَاقِفِ تَلقِّي التَّكْرِيمِ لِشَخصِهِ.

الحِكمَةُ: يُعلِّمُنَا الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ أَنَّ مُرَاعَاةَ حُقُوقِ الآخَرِينَ أَهمُّ مِن تَلقِّي الكَرَامَةِ الشَّخصِيَّةِ، وَأَنَّ العَالِمَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ قَدْوَةً فِي التَّوَاضُعِ وَالإِحسَانِ فِي مُعَامَلَتِهِ مَعَ الآخَرِينَ.

 

 

 

Kesimpulan dari Kisah-Kisah Ini

Ketiga kisah ini menggambarkan dengan jelas dua prinsip besar yang dibahas di atas: pentingnya tauhid yang murni tanpa syirik, dan pentingnya menjaga hak-hak orang lain sebagai bagian dari ibadah sosial. Al-Ghazali, Al-Jailani, dan Asy-Syafi’i semua menekankan bahwa perjalanan spiritual seorang Muslim bukan hanya tentang hubungan dengan Allah (hablun minallah), tetapi juga tentang bagaimana ia berinteraksi dengan sesama manusia (hablun minannas). Tanpa menjaga keduanya, seorang Muslim tidak bisa mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.

 

الخُلاصَةُ مِن هَذِهِ القِصَصِ

تَظهَرُ فِي هَذِهِ القِصَصِ قِيمَتَانِ أَساسِيَّتَانِ فِي الإِسلَامِ: تَجنُّبُ الشِّركِ وَحِفظُ حُقُوقِ النَّاسِ. كُلٌّ مِنَ الغَزَالِيِّ، وَالجَيلَانِيِّ، وَالشَّافِعِيِّ يُؤَكِّدُونَ أَنَّ الرِّحلَةَ الرُّوحِيَّةَ لِلمُسلِمِ لَا تَقتَصِرُ عَلَى العَلاقَةِ مَعَ اللَّهِ (حَبلٌ مِّنَ اللَّهِ)، وَلَكِنَّهَا تَشمَلُ أَيْضًا كَيفِيَّةَ تَعَامُلِهِ مَعَ غَيرِهِ مِنَ النَّاسِ (حَبلٌ مِّنَ النَّاسِ). إِذَا لَم يَحفَظِ الإِنسَانُ كِلَا الجَانِبَينِ، فَإِنَّهُ لَا يُمكِنُ أَن يَصِلَ إِلَى المَرَاتِبِ العُلْيَا فِي رِضَا اللَّهِ تَعَالَى.