Risalah
Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)Syeikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan satu dari sejumlah karya pendiri Jamiyyah
Nahdlatul Ulama ini.
Posisinya
sebagai sebuah karya ke-Ulama-an penting untuk dijadikan sebagai referensi,
utamanya oleh warga Nahdliyyin / warga NU. Seperti halnya dengan Qonun Asasi,
Risalah Aswaja ini mengupas tentang beberapa persoalan ke-Aswaja-an; seperti
masalah Sunnah, Bid’ah, pentingnya bermazhab, mengikuti Ijma’ Ulama, mengetahui
tentang hakikat Al Sawad Al A’dhom, petingnya berorganisasi dan kaidah-kaidah
Ahlussunah Wal Jamaah lainnya .
Risalah
ini dibagi ke beberapa bagian, guna menghemat space posting. Berikut ini
Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-1.
Risalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah
MUKADDIMAH
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji bagi Allah, ‘Al-Hamdulillah sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas
segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah
curahkan kepada NabiMuhammad SAW dan seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir
dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain :
Hadits
hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari Qiamat, penjelasan tentang
Al-Sunnah dan Al Bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada
Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari-jemari dengan penuh kekhusyu’an,
kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang
bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal
Sholihah Liwajhillah al-Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha Dermawan penuh
kasih sayang.
Dengan
segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
PASAL
PENJELASAN TENTANG AL – SUNNAH DAN AL-BID’AH
LafadzAl-Sunnah
dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana
dituturkan oleh Imam Al-Baqi dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah Al-Thariqah,
jalan, sekalipun yang tidak diridloi.
Menurut
terminologi syara’ : Al-Sunnah merupakan Al-Thoriqoh, jalan atau cara yang
diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah
Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di
dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A. Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi:
عليكم
بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya
Al–Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan
menurut terminologi Urf, adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan
hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah
ia sebagai Nabi ataupun wali.
Adapun
istilah Al-Sunny merupakan bentuk penisbatan dari lafadz Al-Sunnah dengan
membuang ta’ marbuthah. LafadzAl-Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Al – Syekh
Zaruq di dalam kitab Iddati al-Murid menurut terminologi syara’ adalah :
“Menciptakan
hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama,
padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam
hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda NabiSAW :
من احدث فى امرنا هذاما ليس منه فهو رد
“
Barang
siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama},padahal
bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
Dan sabda
Rasul :
وكل
محدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para
Ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni,
perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan
bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan
merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah.
Jadi
bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa
jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia
menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskanFuru’ al-Syari’ah sehingga
ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Al-Syekh
Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni:
Pertama
harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika di dalamnya didapati
termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang
mengukuhkannya,maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat
beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan
muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa
pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan
rujukan dasar.
Pertimbangan
Kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah
dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Sholih sebagai
tuntunan Thariqah al-Sunnah, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan
dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat
diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah
perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam
Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’u maupun asal.
Segala
sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya, sehingga apapun yang
diamalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah
para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu
dianggap sebagai bid’ah madzumah, dan segala bentuk prilaku yang tidak
dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan kerangka
pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan
atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
Berkaitan
dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al-Sholih tetapi tidak
menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu
dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan
segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk
meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal
itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Sholih tidak
mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut
dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu
waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu
yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu
bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh
kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.
Para
Ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam
kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada
kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i
menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan
pada sebuah hadits
:ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap
kalian semua adalah diampuni”
Syekh
Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini, beliau
mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantarapara Ulama
tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras,
dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam hadits ada semacam support atau
al-Targhib di dalam hal ini, sekalipun Salafuna al–Sholih tidak melakukannya
sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap
sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata
pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang diambil
sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah yang
diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang yang memiliki
pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan pendapat lain yang bertolak
belakang karena adanya kesamaran dalam memproses kesimpulan hukumnya.
Bila
dalam persoalan ini dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang
lain, maka yang terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka yang
bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan
sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu
mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja atau lebih. Rasulullah Saw
bersabda
لايصلين احد العصرالا فى بنى قريظة فادركم العصر فى الطريق, فقال
بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى الطريق وقال أخرون: امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم
يعب صلى الله عليه وسلم على واحد منهم.
Sungguh
seseorang tidak akan dapat melaksanakan sholat fardu
Ashar
kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat mendapati masuknya
waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata :
kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan
mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata:
kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani
Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak
mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.
Sikap
Rasulullah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk
melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda
Nabi sebagai Al-Syari, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah
dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan
yang Ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada
beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau
terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam
enam bentuk hukum syari’at yakni: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula
dan mubah.
Segala
bentuk persoalan itu di ilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki
dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari
hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan
tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal aula dan
bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan
kemudahan.
Lebih
spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam 3 kelompok yakni;
Pertama,
Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil
syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan
hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada
akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini
adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah
alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi
keshorihan bid’ah-nya.
KeduaAl–bid’ah
al – Idlofiyah yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah di mana bila
perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah
terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai
sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga,Al-Bid’ah
al-Khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik
menarik diantara keduanya, disatu sisi dia berkata: ini didasarkan pada sumber
ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil
yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di
atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a
bersama.
Al
-‘Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al-Syibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in
al-Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi
من احدث حدثا او اوى محدثا فعليه لعنة الله
Barang
siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang
yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah. Masuk dalam
kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad
fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai bentuk penyimpangan terhadap
ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits
ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang
berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi
yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali
sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan
pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain.
Karena itulah Imam Ibnu Abdi al-Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke
dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau
lantas membuat batasan; Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan
di zaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu,
dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib (jarang ditemui dan maknanya sulit
dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al-Sunnah di mana
pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang
dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab
Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti
memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga
segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam.
Dan
bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf,
bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau mushofahah
setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu
makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan
lain-lain.
Setelah
kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim
bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan
ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk
bersedeqah, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan
bid’ah.
Dan
sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh
dari pasar pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain
adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.
Bersambung
ke Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-2
Sumber:
http://pcnucilacap.com/risalah-aswaja-syeikh-hasyim-asyari-1