Senin, 21 September 2015

Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari-1

Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)Syeikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan satu dari sejumlah karya pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama ini.

Posisinya sebagai sebuah karya ke-Ulama-an penting untuk dijadikan sebagai referensi, utamanya oleh warga Nahdliyyin / warga NU. Seperti halnya dengan Qonun Asasi, Risalah Aswaja ini mengupas tentang beberapa persoalan ke-Aswaja-an; seperti masalah Sunnah, Bid’ah, pentingnya bermazhab, mengikuti Ijma’ Ulama, mengetahui tentang hakikat Al Sawad Al A’dhom, petingnya berorganisasi dan kaidah-kaidah Ahlussunah Wal Jamaah lainnya .

Risalah ini dibagi ke beberapa bagian, guna menghemat space posting. Berikut ini Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-1.

Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
MUKADDIMAH
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, ‘Al-Hamdulillah sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada NabiMuhammad SAW dan seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain :

Hadits hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari Qiamat, penjelasan tentang Al-Sunnah dan Al Bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari-jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal Sholihah Liwajhillah al-Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha Dermawan penuh kasih sayang.
Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
PASAL PENJELASAN TENTANG AL – SUNNAH DAN AL-BID’AH

LafadzAl-Sunnah dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Baqi dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah Al-Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak diridloi.

Menurut terminologi syara’ : Al-Sunnah merupakan Al-Thoriqoh, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي

Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al–Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan menurut terminologi Urf, adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai Nabi ataupun wali.
Adapun istilah Al-Sunny merupakan bentuk penisbatan dari lafadz Al-Sunnah dengan membuang ta’ marbuthah. LafadzAl-Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Al – Syekh Zaruq di dalam kitab Iddati al-Murid menurut terminologi syara’ adalah :
“Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda NabiSAW :

من احدث فى امرنا هذاما ليس منه فهو رد
Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama},padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak
Dan sabda Rasul :
وكل محدثة بدعة
Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah
Para Ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah.
Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskanFuru’ al-Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Al-Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni:
Pertama harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika di dalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang mengukuhkannya,maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan Kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Sholih sebagai tuntunan Thariqah al-Sunnah, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’u maupun asal.
Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai bid’ah madzumah, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al-Sholih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Sholih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan pada sebuah hadits 
:ما تركته لكم فهو عفو
Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni
Syekh Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini, beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantarapara Ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam hadits ada semacam support atau al-Targhib di dalam hal ini, sekalipun Salafuna al–Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam memproses kesimpulan hukumnya.
Bila dalam persoalan ini dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja atau lebih. Rasulullah Saw bersabda

لايصلين احد العصرالا فى بنى قريظة فادركم العصر فى الطريق, فقال بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى الطريق وقال أخرون: امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه وسلم على واحد منهم.

Sungguh seseorang tidak akan dapat melaksanakan sholat fardu
Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata: kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.
Sikap Rasulullah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda Nabi sebagai Al-Syari, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan yang Ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula dan mubah.
Segala bentuk persoalan itu di ilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.
Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam 3 kelompok yakni;
Pertama,  Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya.
KeduaAl–bid’ah al – Idlofiyah yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah di mana bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga,Al-Bid’ah al-Khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu sisi dia berkata: ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
Al -‘Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al-Syibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in al-Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi

من احدث حدثا او اوى محدثا فعليه لعنة الله
Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah. Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al-Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau lantas membuat batasan; Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan di zaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib (jarang ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al-Sunnah di mana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam.
Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.

Bersambung ke  Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-2

Sumber: http://pcnucilacap.com/risalah-aswaja-syeikh-hasyim-asyari-1